JAKARTA — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan sesi pertama Jumat (21/11/2025) dengan penurunan 0,24% ke posisi 8.399,34 atau turun 20,58 poin.
Tekanan jual mendominasi pasar, tercermin dari 336 saham yang melemah, sementara 264 menguat dan 205 stagnan. Aktivitas transaksi terbilang ramai, mencapai Rp 8,53 triliun dengan volume 20,59 miliar saham dalam 1,14 juta transaksi hingga jeda siang.
Sebagian besar sektor masih berada di zona negatif. Sektor teknologi dan keuangan menjadi pemberat utama, sedangkan sektor properti dan kesehatan justru tampil memimpin penguatan tipis.
Saham-saham berkapitalisasi besar seperti TLKM, BBCA, BBRI, BBNI, hingga ASII menjadi kontributor utama koreksi indeks. Di sisi lain, pergerakan positif GOTO, BRMS, dan DSSA membantu menjaga IHSG agar tidak tertekan lebih dalam.
Tekanan juga datang dari bursa Asia yang bergerak negatif sejak pembukaan. Di Jepang, Nikkei 225 merosot 1,57% dan Topix turun 0,72%. Koreksi tajam saham teknologi seperti Advantest (−9%), Tokyo Electron (−6%), Lasertec (−5%), dan Renesas Electronics (−1,95%) semakin membebani sentimen.
Kenaikan inflasi inti Jepang pada Oktober yang menjadi laju tercepat sejak Juli memperkuat ekspektasi pasar terhadap potensi kenaikan suku bunga Bank of Japan, sehingga menambah tekanan pada pasar yang tengah bergejolak.
Indeks di Korea Selatan juga tidak luput dari aksi jual. Kospi terperosok 4,09% dan Kosdaq melemah 3,01%. Saham raksasa chip Samsung Electronics dan SK Hynix anjlok masing-masing sekitar 4% dan 9%.
Sementara itu, indeks S&P/ASX 200 Australia turun 1,3%, dan kontrak berjangka Hang Seng berada di 25.460, lebih rendah dari penutupan terakhir HSI di 25.835,57.
Koreksi global juga tercermin dari pergerakan Wall Street semalam. Saham-saham teknologi berbasis AI seperti Oracle dan AMD memimpin pelemahan. Nvidia yang semula menghijau, berbalik turun hampir 3%.
Pada perdagangan Kamis waktu AS, Nasdaq Composite jatuh 2,16% setelah sempat melonjak 2,6% di awal sesi. Dow Jones terkoreksi 0,84% dan S&P 500 turun 1,56%, meski sempat menguat 1,9%.
Ke depan, pelaku pasar diperkirakan mencermati perkembangan sejumlah data ekonomi yang berpotensi memengaruhi arah pasar keuangan.
Rilis indikator ekonomi Indonesia pada Kamis mengisyaratkan tantangan ganda: tekanan fiskal dan tekanan eksternal. Penerimaan pajak yang belum optimal, kenaikan beban utang, serta berkurangnya cadangan devisa memberi sinyal bahwa strategi menjaga aliran modal dan stabilitas pasar perlu lebih berhati-hati. Langkah antisipatif dinilai penting agar gejolak tidak meluas ke pasar keuangan.
(Sumber – CNBC Indonesia)

