JAKARTA — Toyota Motor Corporation menyatakan komitmennya untuk berinvestasi dalam pengembangan ekosistem bioetanol di Indonesia. Melalui PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), perusahaan asal Jepang ini menyiapkan pembentukan joint venture bersama PT Pertamina untuk memproduksi bioetanol generasi baru di Tanah Air.
Rencana tersebut diungkapkan Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, saat kunjungan kerja ke Jepang. Dalam pertemuan dengan Masahiko Maeda, CEO Asia Region Toyota Motor Corporation, Todotua juga meninjau fasilitas riset milik Research Association of Biomass Innovation for Next Generation Automobile Fuels (RABIT) di Fukushima.
Menurut Todotua, Toyota menyambut baik kebijakan pemerintah yang akan mewajibkan campuran bioetanol 10% dalam bensin (E10) mulai 2027. Regulasi ini ditujukan untuk menekan ketergantungan pada impor BBM, sekaligus mendorong transisi menuju energi bersih.
Toyota saat ini tengah mengembangkan bioetanol generasi kedua berbasis biomassa non-pangan, seperti limbah pertanian dan tanaman sorgum. Teknologi tersebut dinilai cocok dengan karakter agrikultur Indonesia yang memiliki bahan baku beragam dan lahan budidaya yang luas.
“Teknologi pabrik bioetanol generasi kedua bisa memanfaatkan multi feedstock, mulai dari tebu, padi, singkong hingga sawit,” ujar Todotua, Senin (10/11/2025). Ia menyebut model ini berpeluang diterapkan di berbagai daerah penghasil komoditas pertanian.
Dalam peta hilirisasi kementerian, Lampung disiapkan sebagai salah satu sentra pengembangan bioetanol. Pengolahan akan melibatkan petani lokal dan koperasi, sehingga industri tidak hanya memperkuat rantai pasok energi, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Proyek awal disebut akan menggandeng Pertamina NRE, termasuk integrasi dengan fasilitas geothermal dan hidrogen milik Pertamina.
TMMIN mengonfirmasi minat berinvestasi di sektor ini sebagai bagian dari strategi global Toyota mengamankan pasokan bahan bakar bagi kendaraan flex-fuel. Kolaborasi Indonesia–Jepang dinilai dapat mempercepat kemandirian energi dan membuka potensi ekspor.
Setelah pertemuan, Toyota dan Pertamina sepakat untuk melakukan studi bersama ke Lampung dengan target perusahaan patungan terbentuk pada awal 2026. Fasilitas produksi tahap pertama diproyeksikan berkapasitas 60.000 kiloliter per tahun, dengan nilai investasi sekitar Rp 2,5 triliun.
Dengan kebutuhan nasional lebih dari 40 juta kiloliter bahan bakar per tahun, penerapan E10 akan membutuhkan sekitar 4 juta kiloliter bioetanol pada 2027. Karena itu, pembangunan pabrik pendukung perlu dilakukan segera.
“Toyota sudah punya pengalaman mengembangkan mobil berbahan bakar bioetanol di banyak negara. Ini peluang besar yang sedang mereka kejar di Indonesia,” kata Todotua.
(Sumber – DetikFinance)

